Mereka : Tak Bisa Dihindari - Sesaat Pintar -->

Wednesday, March 20, 2019

Mereka : Tak Bisa Dihindari

Mereka Tak Bisa Dihindari

Tak pernah ada yang tahu, kapan kita harus meninggalkan bumi ini. Tak ada yang tahu pula apa yang akan kita jalani nanti.
Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh sang Pencipta, dan tugas kita hanya lah menjalaninya tak lupa dengan kebaikan.
Tak ada yang tau, orang di sekeliling kita adalah teman atau musuh, pengikut atau penghianat, dan sebagainya.
Pada masa kini, kita sering kali mendengar ungkapan “Harus pandai-pandai memilih teman!” namun apa yang sebetulnya harus kita lakukan?
Jaman dulu dan sekarang sangat lah berbeda, dulu ingin berteman pun harus dengan orang yang sederajat, bila sekarang tidak sederajat pun sama. Kaya dan miskin pun sama-sama besar sombongnya.
Tapi ya mau begimana lagi? Kita tetep saja tidak bisa menghindari semua itu, karna sudah di tetapkan sesuai takdir.

-        Louis.

Ungkapan yang ku dengar ketika sampai di salah satu desa di kawasan Bogor. Aku sempat bersekolah di desa, dengan alasan umurku yang kurang bila sekolah di kota. Awalnya aku asing dengan tempat ini, tidak banyak teman berbicara, tidak banyak anak seumuran, yang ada orang-orang yang sudah besar, dan juga lanjut usia, ya kali itu umur ku masih 6 tahun kurang 3 bukan.

Tiga bulan berlalu, aku masih saja tidak memiliki teman, namun suatu ketika aku sedang pergi ke daerah bendungan, aku bertemu seorang anak kecil. Dia menyapa ku saat itu, dan dari situ aku mengetahui namanya, yaitu Louis.
Empat hari ku mengenalnya, bermain bersama di tempat yang sama, namun suatu ketika, ada yang aneh dengan dirinya. Dia tidak pernah mengganti pakaiannya. Timbul banyak pertanyaan yang muncul dipikiran ku saat itu, namun belum sempat aku menanyakan itu. Louis menyatakan bahwa dirinya adakah Hantu.
Awalnya aku menganggap itu hanyalah gurauan nya saja, namun ternyata setelah aku melihatnya melayang, mataku terbuka lebar.

Louis banyak bercerita kepada ku, tentang kehidupannya terdahuku sebelum ia meninggal, namun tidak mungkin aku bisa menceritakan semuanya di dalam satu cerita untuk dibaca oleh kalian, maka dari itu, aku akan menceritakan sedikit dari kehidupan teman kecilku yang bernama Louis.

• • •

Kulit putih, terdapat bintik-bintik coklat di dekat area hidung, berambut panjang rada ikal. Memiliki hobby bermain piano. Bisa dibilang, ia salah satau anak keturunan Belanda yang tidak suka pamer keyaan pada masanya itu, tidak seperti teman sekolah nya yang selalu memamerkan barang-barang mewahnya. Walaupun ia keluarga berada, namun sifatnya bertolak belakang dengan orang tuanya.

Sudah sering kali ia di tegur dan di marahi oleh orang keluarganya bahwa orang Belanda adalah orang yang memiliki kedudukan di atas segalanya, namun tetap saja ia tidak menggubris.
Louis sangatlah rendah hati, sesekali ia selalu memberikan sisa makanan yang ia punya untuk di berikan kepada kaum pribumi.

Ia pernah berpesan kepada ku “Setinggi apapun derajat hidup kita! Masih ada lagi yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Semua ini milik Tuhan, jadi jangan lah kau banggakan! “
Kalimat itu yang ia ucapkan ketika aku memamerkan sebuah mainan baru kepadanya.
Saat itu aku penasaran, bagaimana bisa ia meninggal, namun dengan kegirangan ia bersedia untuk bercerita.

“Saat itu hari minggu, kami sekeluarga biasa bepergian untuk beribadah bersama. Memang suasana kota bogor saat itu sudah tidak terlalu ramai sejak kabarnya Nipon meninjakan kakinya di Bandung. Kami belum ada rencana untuk kembali ke Netherland, kafna Ayahku masih ada tugas di kota ini. Hari itu cerah, aku, Mama, Papa, dan juga satu supir ku bernama Kang Asep, pergi menuju Gereja.
Sepanjang jalan aku hanya melihat orang-orang pribumi yang sedang berkeja, tak sedikit pula bangsa Netherland yang terlihat sedang berbicara.
Kami memiliki acara tersendiri, setelah pulang dari gereja, kami akan pergi makan bersama dengan para bangsawan, namun, belum kami sampai di gereja. Sebuat logam menembus kaca mobil yang sedang kami naiki.
Seketika kami semua panik ketakutan, tidak tau harus melakukan apa, dan lagi-lagi sebuah logam melesat cepat menembus tubuh Kang Asep, dan hanya menyisakan kami bertiga. Mama dan juga Papa, saling memeluk erat tubuh ku, aku ketakutan saat itu.
Seseorang datang lalu berdiri di depan mobil, menodongkan senjata, lalu memuntahkan isi peluru itu keluar, yang membuat semua yang aku lihat menjadi gelap. Aku hanya mendenganr suara teriakan Papaku, dan juga suata Mama ku yang menangis, namun tak lama dari situ, semuanya menjadi hening nan gelap. Aku tak lagi merasakan tubuhku.. “



Tamat.

Disqus comments